-->

Bahaya Bid'ah & Peringatan Untuk Menjauhinya (Bag. 2)

Bahaya Bid'ah
Jurnalmuslim.com - Baca artikel sebelumnya: Bahaya Bid'ah & Peringatan Untuk Menjauhinya (Bag. 1)

Sisi ketiga dari naql: yang datang dari salafus shalih dari kalangan sahabat dan tabi’in dalam mencela orang-orang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Di antara yang datang dari para sahabat:

Yang diriwayatkan dalam riwayat yang shahih dari Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkhutbah kepada manusia dan berkata: ‘Wahai sekalian manusia, telah disunnahkan bagimu sunnah-sunnah, dan diwajibkan kepadamu kewajiban-kewajiban, serta ditinggalkan atas yang sudah jelas, kecuali kamu tersesat dengan manusia kanan dan kiri.”

Dan ia menepukkan dengan salah satu tangannya kepada yang lain, kemudian berkata: ‘Janganlah kamu binasa karena ayat rajam, yaitu yang berkata: ‘kami tidak menemukan ayat tentang rajam dalam al-Qur`an’, maka sungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merajam dan kami telah merajam[1]....’hingga akhir pembicaraannya.

Dalam Shahih dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Wahai sekalian ahli al-Qur`an (Qurra), luruslah, maka sungguh kamu telah mendahului dengan jauh, dan jika kamu mengambil kanan dan kiri maka sungguhnya kamu tersesat yang sangat jauh.’[2]

Dan darinya juga: ‘Yang paling aku khawatirkan terhadap manusia ada dua: bahwa mereka lebih mengutamakan sesuatu yang mereka lihat dari pada sesuatu yang mereka ketahui dan mereka tersesat sedang mereka tidak mengetahui.’[3] Sufyan berkata: Ia adalah pelaku bid’ah.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Ikutilah atsar kami dan janganlah kamu melakukan bid’ah, maka sungguh kamu sudah dicukupkan.’[4]

Ibnu Wahb rahimahullah meriwayatkan pula, ia berkata: ‘Kamu harus menuntut ilmu sebelum diambil, dan diambilnya ilmu dengan wafatnya ulama. Kamu harus menuntut ilmu, sesungguhnya seseorang darimu tidak mengetahui kapan ia membutuhkan apa yang ada di sisinya. Dan kamu akan menemukan beberapa kaum yang mengaku bahwa mereka mengajak kepada Kitabullah (al-Qur`an) padahal mereka telah melemparkannya di belakang punggung mereka. Kamu harus menuntut ilmu dan jauhilah bid’ah dan berlebih-lebihan dalam agama, dan tekunilah yang lama (sunnah).’[5]

Dan darinya pula: ‘Sederhana dalam sunnah lebih baik dari pada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.’[6]

Dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Aku tidak meninggalkan sesuatu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengamalkannya kecuali aku mengamalkannya dan sesungguhnya aku khawatir jika meninggalkan sesuatu dari perkara beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjadi tersesat.’[7]

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Shalat dalam safar adalah dua rekaat, siapa yang menyalahi sunnah ia kufur.’[8]

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kamu harus istiqamah dan mengikuti atsar, dan hindarilah bid’ah.’

Dan Ibnu Wahb rahimahullah meriwayatkan darinya, ia berkata: ‘Siapa yang memunculkan satu pendapat dalam Kitabullah (al-Qur`an) dan tidak pernah ada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padanya, niscaya ia tidak tahu apa yang akan menimpanya apabila bertemu Allah subhanahu wa ta’ala.’[9]

Dan di antara yang datang dari generasi setelah sahabat:

Yang disebutkan oleh Ibnu Wadhdhah rahimahullah, dari Hasan rahimahullah, ia berkata: ‘Pelaku bid’ah tidaklah bertambah kesungguhan, baik puasa maupun shalat- kecuali bertambah jauh dari Allah subhanahu wa ta’ala.’[10]

Ibnu Wahb rahimahullah meriwayatkan dari Idris al-Khaulani rahimahullah: ‘Sungguh aku melihat api di masjid yang aku tidak bisa memadamkannya lebih kusukai dari pada melihat bid’ah padanya yang aku tidak bisa merubahnya.’[11]

Dari Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah: ‘Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan tidak membahayakanmu sedikitnya orang-orang yang menjalani (jalan akhirat), dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang-orang yang binasa.’[12]

Dari ‘Amar bin Qais rahimahullah: ‘Janganlah engkau duduk bersama orang-orang yang menyimpang, maka akan menyimpang hatimu.’[13]

Dari Abu Qilabah rahimahullah: ‘Janganlah kamu duduk bersama pengikut hawa nafsu, janganlah berdebat dengan mereka, sesungguhnya  aku tidak merasa aman bahwa mereka akan menenggelamkan kamu dalam kesesatan mereka dan menyamarkan kepadamu sesuatu yang sudah kamu kenal.’[14]

Al-Ajury rahimahullah menyebutkan  bahwa Ibnu Sirin rahimahullah berpendapat bahwa manusia yang paling cepat murtad adalah pengikut hawa nafsu (ahlul ahwaa`).[15]

Dari Ibrahim rahimahullah: ‘Janganlah engkau berbicara dengan mereka, sesungguhnya aku khawatir hati kalian akan murtad.

Dari Hisyam bin Hassan rahimahullah, ia berkata: ‘Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima puasa, shalat, haji, jihad, umrah, sedakah, memerdekakan budak, dan tidak pula tebusan dari ahli bid’ah.

Dari Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, ia menulis di dalam buku-bukunya: ‘Sesungguhnya aku memperingatkan kalian sesuatu yang dicondongi (disukai) oleh hawa nafsu dan kesesatan yang jauh.’

Di antara ucapannya yang sangat diperhatikan dan diingat oleh para ulama, dan imam Malik rahimahullah sangat mengaguminya adalah ucapannya: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pemimpin sesudahnya[16] telah menjelaskan sunnah, mengambilnya adalah membenarkan Kitabullah, menyempurnakan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan kuat terhadap agama Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada seorang pun yang punya hak merubah dan menggantinya. Siapa yang mengamalkannya ia mendapat petunjuk dan siapa yang membelanya ia akan mendapat pertolongan, dan siapa yang menyalahinya berarti ia mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman dan Allah subhanahu wa ta’ala memalingkannya kepada sesuatu yang dia berpaling, dan memasukkannya ke neraka jahanam, dan seburuk-buruk tempat kembali.’[17][18]

Akan tetapi atsar-atsar ini, dalam melarang duduk bersama ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu, hanya bagi orang yang dikhawatirkan terpengaruh dengan mereka, atau tujuannya bukan berdakwah kepada mereka, atau bukan mengingkari mereka, menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan melarang mereka berbuat mungkar.

Syaikh Abdurrahman al-Barrak hafizhahullah berkata: ‘Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قال الله تعالي: ﴿ وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ ﴾ [ النساء: 140 ]

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka., (QS. an-Nisaa`:140)

Dalam ayat ini merupakan petunjuk yang jelas bahwa orang yang duduk di majelis yang dingkari padanya ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala dan diperolok-olokkan maka sesungguhnya ia seperti orang-orang kafir yang mengolok-olokkan ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti ini pula dikatakan dalam duduk bersama-sama ahli bid’ah di saat berbicara tentang bid’ahnya dan ajakannya kepada bid’at tersebut. Maka sesungguhnya orang yang duduk bersama, sedangkan ia berbicara dengan yang batil dan menyesatkan manusia berarti ia sama seperti dia. Karena duduknya dia bersamanya –tanpa bertujuan mengingkari- menunjukkan ridhanya terhadapnya dan ridhanya terhadap kebatilan. Maka siapa yang tidak mampu menghalangi kemungkaran maka ia jangan menghadirinya, bahkan ia berdiri dari majelis yang dilakukan maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala padanya.

Adapun bila orang yang batil tidak sedang berbicara tentang kebatilannya berupa kekufuran atau bid’ah atau maksiat maka duduk bersamanya ketika itu berbeda hukumnya tergantung perbedaan tujuan, sebab dan dampak:

Bisa jadi disyari’atkan, sebagaimana bila ia bertujuan mendekati dan berdakwah tanpa merasa khawatir mendapat bahaya terhadap agamanya.  Bisa jadi dimakruhkan, bisa jadi dibolehkan apabila untuk tujuan yang dibolehkan. Bisa jadi duduk tersebut adalah haram apabila hal itu memberi dampak kerusakan pada agama orang yang ikut duduk atau orang lainnya yang mengikutinya.

Hajr (tidak menyapa) pelaku maksiat dan ahli bid’ah terkadang bertujuan untuk menghindari kejahatan mereka. Terkadang bertujuan untuk mengingkari dan membuat mereka jera agar mau bertaubat. Dan peringatan yang datang dari kalangan salaf agar jangan duduk bersama ahli bid’ah karena dikhawatirkan kejahatan mereka memberi dampak buruk bagi yang duduk bersama mereka. Mayoritas manusia tidak mempunyai dasar ilmu dan iman yang kuat yang bisa menjaga mereka dari kejahatan para tokoh bid’ah dan penyeru kesesatan. Dan seperti yang dikatakan: menjaga lebih baik dari pada mengobati. Wallahu A’lam.[19]

Dan akan datang fasal: fatwa sebagian ulama dalam dakwah kepada orang-orang yang menyimpang, penjelasan masalah ini sangat penting.

Adapun sisi yang lain, yaitu pemikiran dan akal:

Imam asy-Syathibi rahimahullah –ia adalah yang terbaik yang berbicara tentang bid’ah- berkata: ‘Adapun pemikiran, maka dari beberapa sisi:

Salah satunya: Sudah diketahui dengan pengamalan dan keahlian yang berjalan di alam semesta sejak pertama dunia hingga saat ini bahwa akal tidak bisa berdiri sendiri dengan kepentingannya; menarik manfaat untuknya atau menolak merusakan.

Kedua: sesungguhnya syari’at datang secara sempurna, tidak lebih dan tidak kurang, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman padanya:

قال الله تعالي: ﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا ﴾ [ المائدة: 3 ]

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. (QS. al-Maidah:3)

Jika sudah sempurna seperti itu, maka seolah-olah ahli bid’ah mengatakan dengan lisan perbuatan dan ucapannya: sesungguhnya syari’at belum sempurna dan sesungguhnya masih tersisa beberapa perkara darinya yang harus ditemukan. Karena jika ia meyakini kesempurnaannya dari segala sisi niscaya ia tidak melakukan bid’ah dan tidak melakukan penambahan, dan yang mengatakan ini adalah tersesat dari jalan yang lurus.

Ibnul Majisyun rahimahullah[20] berkata: “Aku mendengar imam Malik rahimahullah berkata: ‘Siapa yang melakukan satu bid’ah di dalam Islam yang ia memandangnya sebagai kebaikan, maka sungguh ia menuduh bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhianat terhadap risalah, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قال الله تعالي: ﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ ﴾ [ المائدة: 3 ]

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu (QS. al-Maidah:3)

Maka sesuatu yang bukan bagian dari agama pada hari itu maka ia bukan dari agama pada hari ini.

Ketiga, sesungguhnya pelaku bid’ah menentang syari’at, karena syari’ (Allah subhanahu wa ta’ala) telah menentukan beberapa jalan tertentu terhadap beberapa sisi khusus untuk tuntutan-tuntutan hamba, membatasi makhluk atasnya dengan perintah, larangan, janji dan ancaman. Dan mengabarkan bahwa kebaikan ada padanya dan sesungguhnya keburukan dalam melewati batasnya...hingga seterusnya. Karena Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui dan kita tidak mengetahui, dan sesungguhnya Dia subhanahu wa ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi semesta alam. Maka ahli bid’ah menolak semua ini. Maka sesungguhnya ia menduga bahwa ada jalan-jalan yang lain, bukan yang dibatasi oleh syari’ dengan batasan tertentu, dan bukan yang Dia tentukan dengan yang sesuatu tertentu. Seolah-olah Syari’ mengetahui dan kami juga mengetahui. Bahkan bisa dipahami dari tindakannya menambah-nambah dalam syari’at bahwa ia mengetahui yang tidak diketahui oleh Syari’. Dan ini, jika dimaksudkan oleh pelaku bid’ah maka merupakan kekufuran terhadap syari’at dan Syari’, dan jika tidak dimaksudkan maka ia merupakan kesesatan yang nyata.

Keempat:
Sesungguhnya ahli bid’ah telah menempatkan dirinya pada kedudukan menyerupai Syari’, karena Syari’ yang meletakkan dasar-dasar syari’at dan mewajibkan makhluk menelusuri sunnahnya, dan jadilah ia yang menyendiri dengan hal itu, karena ia memutuskan di antara makhluk pada sesuatu yang mereka berbeda pendapat padanya. Dan jika tidak demikian, jikalau penentuan syari’at bersumber dari pemahaman makhluk niscaya tidak diturunkan syari’at-syari’at dan tidak tersisa perbedaan pendapat di antara manusia dan tidak perlu diutus para rasul ‘alaihimus sallam.

Orang yang melakukan bid’ah dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala ini telah menjadikan dirinya sebagai tandingan dan serupa dengan Syari’. Di mana ia menentukan syari’at bersama Syari’ dan membuka pintu bagi perbedaan pendapat, dan menolak tujuan Syari’ dalam menyendiri menetapkan syari’at, dan cukuplah dengan hal itu.

Kelima: sesungguhnya ia mengikuti hawa nafsu, karena sesungguhnya bila akal tidak mengikuti syari’at niscaya tidak tersisa lagi baginya selain hawa nafsu dan syahwat, dan engkau mengetahui bahaya dalam mengikuti hawa nafsu dan sesungguhnya ia adalah kesesatan yang nyata.

Dan ia berkata juga:

Sisi keenam: ia menyebutkan padanya sebagian yang ada dalam bid’ah berupa sifat-sifat yang dikhawatirkan dan makna-makna yang dicela serta berbagai macam kesialan:

Ia merupakan penjelasan bagi yang telah terdahulu pertama tama, dan padanya ada tambahan uraian dan penjelasan yang lebih terhadap yang telah lewat di antara dalil-dalil.

Ketahuilah, sesungguhnya ibadah yang disertai bid’ah tidak diterima berupa shalat, puasa, sedakah dan ibadah-ibadah lainnya. Majelis-majelis pelakunya dicabut penjagaan darinya, diserahkan kepada dirinya, dan yang berjalan kepadanya dan menghormatinya berarti membantu meruntuhkan Islam, maka bagaimana dengan pelakunya? Dia dikutuk lewat lisan syari’at. Bertambah jauh dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan ibadahnya. Ia merupakan dugaan terjadinya permusuhan dan saling membenci. Menghalangi dari syafa’at nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikhawatirkan atasnya termasuk orang-orang kafir yang keluar dari agama, su`ul khatimah saat keluar dari dunia. Hitam wajahnya di akhirat. Disiksa di neraka jahanam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri darinya dan kaum muslimin berlepas diri darinya. Dan dikhawatirkan atasnya fitnah di dunia bertambah-tambah hingga siksa akhirat.[21] Dan dia (asy-Syathibi) telah menjelaskan secara rinci poin ini dengan panjang lebar.

 [1] Al-Muwatha` 2/824, Sunan al-Baihaqi 8/212.

[2] Al-Bukhari 6857.        

[3] Hilyaul auliya 1/278, az-Zuhd karya al-Hannad 2/465. Lihat: I’tisham 1/60.

[4] Sunan ad-Darimi 1/80, as-Sunnah karya al-Maruzi 1/28. Lihat: Majma’ Zawa`id 1/434.

[5] Mushannaf Abdurrazzaq 11/252, Sunan ad-Darimi 1/66

[6] Sunan ad-Darimi 1/83.

[7] Al-Bukhari 2926, Muslim 1759.

[8] Abu Nu’aim dalam Hilyah 7/185-186 dari beberapa jalur, dari Shafwan bin Mukharriz, ia shahih. Dan pengarang Kanzul Ummal (201850) menyandarkannya kepada Dailami dan baginya ada beberapa syahid.

[9] Sunan ad-Darimi 1/69.

[10] Al-Bida’ wan nahyu ‘anha 62.

[11] As-Sunnah lil Maruzi 1/32.

[12] Azdkar karya an-Nawawi 1/363.

[13] Hilyatul Auliya 5/103

[14] Sunan ad-Darimi 1/120, Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah 1/134.

[15] Asy-Syari’ah 474 (2/889)

[16] Mereka adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

[17] Asy-Syari’ah 92 (1/408).

[18] Al-I’tisham 1/70-117 dengan ringkas.

[19] Majalah Dakwah edisi 2058 bulan Sya’ban 1427 H.

[20] Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Abu Salamah bin Majisyun at-Taimy maulahum, al-Madani al-Maliki, murid imam Malik. Wafat pada tahun 213 H.

[21] I’tisham 1/61-70.

Diambil dari ebook Pengertian Bid’ah Dan Bahayanya Serta Celaan Bagi Pelakunya, oleh Syaikh Khalid bin Ahmad az-Zahrani, Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali.

0 Response to "Bahaya Bid'ah & Peringatan Untuk Menjauhinya (Bag. 2)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel