KHR. AS'AD SYAMSUL ARIFIN (Hadapi Bajingan)
Siang itu sebuah masjid di daerah Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo terlihat sepi. Jamaah yang hadir hanya beberapa saja, sangat jauh dari jumlah penduduk sekitar masjid. KH R As’ad Syamsul Arifin merasa aneh karena waktu itu seharusnya masyarakat berduyun menunaikan sembahyang Jum’at.
Kiai berdarah asli Madura ini pun berupaya menjawab permasalahan ini. Ia mendatangi salah satu warga yang sangat disegani. Ya, tapi orang ini disegani bukan lantaran ia seorang tokoh atau ulama. Dia seorang bandit alias bajingan.
Entah sebab apa, bajingan itu menjadi serba kikuk dan gugup. Mungkin pikirnya, ”Memang untuk apa kiai besar mengunjungi rumah bajingan? Bukankah jenis hubungan paling layak antara kiai dan bandit adalah musuh?”
Anehnya, selama bertamu Kiai As’ad tak sedikit pun menyinggung, apalagi mencela, profesi tuan rumah. Bahkan, dalam perbincangan, santri Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari ini berminat tinggal bersama bajingan itu di dunia dan akhirat. Kiai As’ad juga rela memberi dukungan ke surga seumpama si bajingan menerima nasib sial di neraka.
Namun, di ujung pembicaraan Kiai As’ad mengajukan syarat: bajingan itu mesti sanggup memenuhi masjid yang sepi tersebut setiap waktu sembahyang Jumat tiba.
Singkat cerita, ”persahabatan” Kiai As’ad dengan si bajingan berbuah manis. Semangat beribadah masyarakat akhirnya meningkat. Penduduk tak canggung berbondong menuju masjid. Bagaimana dengan bajingan itu? Ia mengikuti alur umum masyarakat: menjadi warga yang saleh dan rajin ke masjid.
Sebagaimana ulama-ulama kenamaan lainnya, kesuksesan dakwah Kiai As’ad ditentukan oleh kegigihan dan cara-cara elegan yang digunakan. Dengan perilaku yang lembut dan penuh tawaduk, kiai kelahiran 1897 ini berhasil menaklukkan hati seorang bajingan.
Kiai berdarah asli Madura ini pun berupaya menjawab permasalahan ini. Ia mendatangi salah satu warga yang sangat disegani. Ya, tapi orang ini disegani bukan lantaran ia seorang tokoh atau ulama. Dia seorang bandit alias bajingan.
Entah sebab apa, bajingan itu menjadi serba kikuk dan gugup. Mungkin pikirnya, ”Memang untuk apa kiai besar mengunjungi rumah bajingan? Bukankah jenis hubungan paling layak antara kiai dan bandit adalah musuh?”
Anehnya, selama bertamu Kiai As’ad tak sedikit pun menyinggung, apalagi mencela, profesi tuan rumah. Bahkan, dalam perbincangan, santri Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari ini berminat tinggal bersama bajingan itu di dunia dan akhirat. Kiai As’ad juga rela memberi dukungan ke surga seumpama si bajingan menerima nasib sial di neraka.
Namun, di ujung pembicaraan Kiai As’ad mengajukan syarat: bajingan itu mesti sanggup memenuhi masjid yang sepi tersebut setiap waktu sembahyang Jumat tiba.
Singkat cerita, ”persahabatan” Kiai As’ad dengan si bajingan berbuah manis. Semangat beribadah masyarakat akhirnya meningkat. Penduduk tak canggung berbondong menuju masjid. Bagaimana dengan bajingan itu? Ia mengikuti alur umum masyarakat: menjadi warga yang saleh dan rajin ke masjid.
Sebagaimana ulama-ulama kenamaan lainnya, kesuksesan dakwah Kiai As’ad ditentukan oleh kegigihan dan cara-cara elegan yang digunakan. Dengan perilaku yang lembut dan penuh tawaduk, kiai kelahiran 1897 ini berhasil menaklukkan hati seorang bajingan.
0 Response to "KHR. AS'AD SYAMSUL ARIFIN (Hadapi Bajingan)"
Post a Comment