Hajr (Berpaling/Tidak Menyapa) Terhadap Ahli Bid’ah (Bag. 1)
Illustrasi, bid'ah |
Disyari’atkan hajr:
Hajar adalah perkara yang disyari’atkan saat dibutuhkan, terkadang hukumnya sunnah dan terkadang wajib. Dan dalil-dalil disyari’atkan hajr saat dibutuhkan sangat banyak dari al-Qur`an, Sunnah dan ijma’.
Pertama: dari al-Qur`an:
1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ {68} ﴾ [الأنعام: ٩١]
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (maka larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang. orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (QS. al-An’aam:68)
Ayat ini merupakan dalil haramnya duduk-duduk bersama ahli bid’ah, pelaku dosa besar dan ahli maksiat. Al-Qurthuby rahimahullah berkata: ‘Dalam ayat ini merupakan bantahan dari al-Qur`an terhadap orang yang menduga bahwa para imam yang merupakan hujjah dan para pengikut mereka, mereka boleh berkumpul bersama orang-orang fasik dan membenarkan ucapan mereka secara taqiyyah. Ath-Thabary rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali rahimahullah, ia berkata: ‘Janganlah kamu duduk-duduk bersama orang-orang yang suka bermusuhan (ahli bid’ah), sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang memperolok-olokan ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala.’ Ibnul Araby rahimahullah berkata: ‘Ini merupakan dalil bahwa duduk-duduk bersama pelaku dosa besar adalah tidak boleh.’ Ibnu Khuwairiz Mandad rahimahullah berkata: ‘Siapa yang memperolok-olokan ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala niscaya ditinggalkan majelisnya (tidak boleh duduk bersamanya) dan dihajr, sama saja ia mukmin atau kafir. Demikian pula para ulama kita (mazhab Maliky) melarang masuk ke negeri musuh, tempat ibadah mereka, duduk-duduk bersama orang-orang kafir dan ahli bid’ah, dan jangan sampai mencintai mereka, jangan didengarkan ucapan mereka dan janganlah berdebat bersama mereka. Kemudian ia menyebutkan beberapa atsar dari kaum salaf dalam menghajr ahli bid’ah.[1]
2. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا {140}﴾ [النساء: 140]
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam, (QS. an-Nisaa`:140)
Al-Qurthuby rahimahullah berkata: ‘Hal ini menunjukkan wajibnya menjauhi pelaku maksiat apabila nampak kemungkaran dari mereka. Karena siapa yang tidak menjauhi mereka berarti ia ridha (senang) terhadap perbuatan mereka, dan ridha dengan kekufuran adalah kufur. Firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas (Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.) maka setiap orang yang duduk di majelis maksiat dan tidak mengingkari mereka, berarti ia mendapatkan dosa bersama mereka. Seharusnya ia mengingkari mereka apabila mereka berbicara tentang maksiat dan melakukannya. Maka jika ia tidak mampu mengingkari perbuatan mereka maka semestinya ia meninggalkan mereka agar ia tidak termasuk orang yang mendapat ancaman dalam ayat ini.
Apabila sudah jelas kewajiban menjauhi para pelaku maksiat seperti yang telah kami jelaskan, maka menjauhi ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu adalah lebih utama..Juwaibir meriwayatkan dari ad-Dahhak rahimahullah, ia berkata: ‘Masuk dalam ayat ini setiap ahli bid’ah yang menciptakan yang baru dalam agama hingga hari kiamat.’[2]
3. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَلاَتَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَالَكُم مِّن دُونِ اللهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لاَتُنصَرُونَ {113} ﴾ [هود: 113]
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkanmu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tidak mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Huud:113)
Al-Qurthuby rahimahullah berkata: ‘Yang shahih dalam makna ayat tersebut adalah bahwa ia menunjukkan perintah hajr terhadap orang kafir dan pelaku maksiat serta selain mereka. Maka sesungguhnya berteman dengan mereka adalah kufur dan maksiat, karena berteman tidak terjadi kecuali bersumber dari rasa cinta. Tharafh bin ‘Abd berkata:
Tentang seseorang, janganlah engkau bertanya, dan bertanyalah tentang temannya,
Maka setiap teman mengikuti orang yang menemaninya
Jika persahaban itu karena kebutuhan dan taqiyyah, maka sudah dibicarakan dalam surat Ali Imran dan al-Maidah, dan menemani orang zalim dengan alasan taqiyyah dikecualikan dari larangan dalam kondisi dharurat.’ Wallahu A’lam.[3]
4. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ﴾ [المجادلة: 22]
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS. al-Mujadilah:22)
Al-Qurthuby rahimahullah berkata: ‘Imam Malik rahimahullah mengambil dalil dari ayat ini atas memusuhi Qadariyah dan tidak duduk bersama mereka. Asyhab berkata dari Malik rahimahullah: ‘Janganlah engkau duduk bersama Qadariyah dan musuhilah mereka karena Allah subhanahu wa ta’ala, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ ﴾ [المجادلة: 22]
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,..)
Dan sama seperti Qadariyah semua pelaku aniaya dan permusuhan.[4]
Kedua: dari Sunnah:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « سَيَكُوْنُ فِى آخِرِ أُمَّتِي نَاسٌ يحدثُوْنَكُمْ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاءُكُمْ, فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُم » [ أخرجه مسلم]
‘Akan terjadi di akhir umatku orang-orang yang menciptakan yang baru-baru terhadapmu, sesuatu yang kamu dan bapak-bapakmu tidak pernah mendengarnya, maka hati-hatilah kalian dan jauhilah mereka.’[5]
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لكل أمة مجوس ومجوس أمتي الذين يقولون: لا قدر, إن مرضوا فلا تعودوهم وإن ماتوا فلاتشهدوهم » [ أخرجه أحمد وأبو داود ]
“Bagi setiap umat ada golongan majusi, dan majusi dari umatku adalah orang-orang yang berkata: tidak ada qadar. Jika mereka sakit janganlah engkau menengok mereka dan jika mereka wafat janganlah kamu menyaksikan mereka.’[6]
Hadits Hudzaifah lembaran (Shahifah) yang masyhur dari Ali radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « المدينة حرم ما بين عير وثور, فمن أحدث فيها حدثا أو آوى محدثا فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين » [ أخرجه البخاري ومسلم ]
‘Madinah adalah haram di antara Ier dan Tsaur, maka siapa yang menciptakan yang baru (dalam agama, bid’ah) atau menampung orang yang bid’ah, maka atasnya kutukan Allah subhanahu wa ta’ala, para malaikat dan semua manusia..”[7]
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِى أُمَّةٍ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُوْنَ وَأَصْحَابٌ, يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ, ثُمَّ إِنَّهَا تَخَلَّفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَالَايَفْعَلُوْنَ وَيَفْعَلُوْنَ مَالَايُؤْمَرُوْنَ. فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٍ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ الْإِيْمَانِ حَبَّةَ خَرْدَلَةٍ» [ أخرجه مسلم ]
“Tidak ada seorang nabi yang diutus Allah subhanahu wa ta’ala sebelum aku kepada satu umat kecuali baginya dari umatnya ada hawari dan para sahabat, mereka mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka lahirlah generasi yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang berjihad kepada mereka dengan tangannya maka ia seorang mukmin, siapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya maka dia seorang mukmin, dan tidak ada sebiji sawipun dari iman di belakang itu.[8]
Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam membaca ayat ini:
﴿ هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتُُ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتُُ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغُُ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلُُّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ {7} ﴾ [آل عمران: 7]
Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran:7)
Ia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّي اللهُ فَاحْذَرْهُمْ» [ أخرجه البخاري و مسلم ]
‘Apabila engkau melihat orang-orang yang mengikuti yang samar darinya maka merekalah orang-orang yang disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala, maka hati-hatilah terhadap mereka.’[9]
Hadits-hadits yang sangat banyak dalam tindakan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr para pelaku maksiat sampai mereka bertaubat. Hal itu banyak diriwayatkan dalam berbagai peristiwa yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, di antara mereka: Ka’ab bin Malik, Ibnu ‘Amr meriwayatkan dua hadits, Aisyah, Anas, ‘Ammar, Ali, Abu Sa’id al-Khudry dan selain mereka radhiyallahu ‘anhum.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pernah menghajr Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan dua temannya tatkala ketinggalan perang Tabuk. Mereka terus dihajr selama lima puluh malam, sampai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mengabarkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menerima taubat mereka.[10]
Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha sekitar dua bulan tatkala ia berkata: ‘Aku memberikan kepada wanita Yahudi tersebut’, maksudnya adalah Shafiyyah radhiyallahu ‘anha.[11]
Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr pemilik kubah yang mencolok dengan berpaling darinya sampai ia menghancurkannya.[12]
Dan beliau menghajr ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu dengan tidak memberi salam kepadanya karena ia memakai pakaian yang diberi wangian za’faran (jenis wewangian khusus untuk wanita, berwarna antara kuning dan merah) sampai ia mencucinya.[13]
Dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr seorang laki-laki tatkala beliau melihat cincin emas di tangannya sampai ia melemparkannya, dan menghajrnya dengan cara berpaling darinya.[14] Dan contoh serupa dari hadits Abu Sa’id al-Khudry radhiyallahu ‘anhu.[15] Dan beliau menghajr seorang laki-laki dengan cara tidak menjawab salamnya, dan hal itu disebabkan ia memakai dua pakaian merah.[16]
[1] Tafsir al-Qurthuby 7/12-13.
[2] Tafsir al-Qurthuby 5/418.
[3] Tafsir al-Qurthuby 9/108.
[4] Tafsir al-Qurthuby 17/308
[5] Muslim 1/12 (6) dalam Muqaddimah.
[6] HR. Ahmad 2/86, 125, dan 5/406, Abu Daud 2/634 (4692).
[7] Al-Bukhari 6/2482, 6374 dan Muslim 2/2053, 2665.
[8] Muslim 1/69 (50).
[9] Al-Bukhari 4/1655 (4273) dan Muslim 4/2053 (2665).
[10] Al-Bukhari 4/1603, 1718, 5/2308, 6/2640 (4156, 4400, 5900, 6798), Muslim 4/2120 (2769).
[11] Abu Daud 2/609 (4602)
[12] Abu Daud 2/781 (5237)
[13] Abu Daud 2/609 (4601) dan Musnad ath-Thayalisy 1/90 (646).
[14] Al-Adabul Mufrad 1/352 (1020)
[15] An-Nasa`i 8/175 (5206) dan al-Adabul Mufraf 1/352 (1022).
[16] Abu Daud 2/450 (4065), An-Nasa`i 5/116 (2807), dan al-Mustadrak 4/211 (7399).
Diambil dari Ebook Jenis-Jenis Bid’ah dan Berbagai Kondisi Para Pelakunya oleh Syaikh Khalid bin Ahmad az-Zahrani.
Baca juga artikel berikut:
1. Jenis-Jenis dan Tingkatan Bid'ah
2. Pelaku Bid'ah Adalah Kelompok yang Memisahkan Diri dari Ahlus Sunnah
3. Riwayat Ahli Bid’ah Dan Hukum Menerimanya
4. Hajr (Berpaling/Tidak Menyapa) Terhadap Ahli Bid’ah (Bag. 1)
5. Hajr (Berpaling/Tidak Menyapa) Terhadap Ahli Bid’ah (Bag. 2)
6. Hajr (Berpaling/Tidak Menyapa) Terhadap Ahli Bid’ah (Bag. 3)
7. Hakikat Berdialog Dengan Ahli Bid’ah
0 Response to "Hajr (Berpaling/Tidak Menyapa) Terhadap Ahli Bid’ah (Bag. 1)"
Post a Comment