Hajr (Berpaling/Tidak Menyapa) Terhadap Ahli Bid’ah (Bag. 2)
Illustrasi, bid'ah |
Penerapan para sahabat dan generasi sesudahnya terhadap sunnah nabi ini:
Para sahabat telah menerapkan sunnah hajr dalam beberapa peristiwa:
Umar radhiyallahu ‘anhu menghajr Ziyad bin Hudair radhiyallahu ‘anhu tatkala melihat pakaian panjang atasnya dan kumisnya tidak terurus. Apabila Ziyad memberi salam, Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menjawab sehingga ia melepaskan pakaian panjangnya dan mencukur kumisnya.[1]
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menangkap para pemain dadu di waktu pagi dan semisalnya, dan melarang memberi salam kepada mereka.[2]
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu menghajr seorang laki-laki yang dia melihatnya menghadzaf (melempar hewan dengan kerikil kecil), setelah ia menyampaikan kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melarang hal itu dan ia berkata: ‘Demi Allah subhanahu wa ta’ala saya tidak akan berbicara denganmu selamanya.’[3]
Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu menghajr seorang laki-laki yang menghadzaf dalam kasus serupa, dan seorang Syaikh dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menghajr seorang pemuda karena menghadzaf.[4]
Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu menghajr Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu dalam perbedaan pendapat dalam masalah riba, dan ia berkata: ‘Aku menceritakan kepadamu dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan engkau menceritakan dari pendapatmu’, sungguh jika Allah subhanahu wa ta’ala mengeluarkan aku (dari wilayah kepemimpinan engkau) aku tidak akan tinggal di wilayah yang engkau menjadi amir padanya.’ Dan tatkala ia keluar (dari wilayah itu), ia mengadukannya kepada Umar radhiyallahu ‘anhu. Maka Umar radhiyallahu ‘anhu menulis surat kepadanya: ‘Tidak ada kepemimpinan atasmu terhadapnya, dan bawalah manusia terhadap pendapatnya, sesungguhnya ia adalah perintah.’[5]
Dan kasus serupa terjadi bagi Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu bersama Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu.[6]
Dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menghajr seorang laki-laki yang dilihatnya tertawa terhadap jenazah, ia berkata: ‘Demi Allah, saya tidak akan berbicara denganmu selamanya.’[7]
Ketiga: Ijma
Dihikayatkan dari jama’ah, di antara mereka: al-Qadhy Abu Ya’la, al-Baghawi, al-Ghazali,.
Al-Qadhy Abu Ya’la rahimahullah berkata: ‘Ia merupakan ijma’ para sahabat dan tabi’in.’[8]
Al-Baghawi rahimahullah berkata setelah hadits Ka’ab bin Malik rahimahullah: ‘Dan padanya merupakan dalil bahwa sunnah hajr terhadap ahli bid’ah tetap berlaku untuk selamanya. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam khawatir sifat nifaq terhadap Ka’ab radhiyallahu ‘anhu dan temannya ketika mereka tertinggal keluar bersamanya. Maka beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menyuruh menghajr mereka hingga Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan (al-Qur`an) tentang taubat mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengetahui bebasnya mereka (dari sifat nifak). Para sahabat, tabi’in, para pengikut mereka dan ulama sunnah terus menerapkan hal ini, sepakat untuk memusuhi ahli bid’ah dan menghajr mereka.[9]
Al-Ghazaly rahimahullah berkata: ‘Tata cara kaum salaf berbeda-beda dalam menampakkan kemarahan terhadap pelaku maksiat, dan semuanya sepakat untuk menerapkan kemarahan terhadap orang-orang zhalim dan pelaku bid’ah, dan kepada setiap pelaku maksiat yang berpengaruh terhadap orang lain.[10]
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: ‘Sudah ijma’ (para ulama) bahwa tidak boleh menghajr seorang muslim lebih dari tiga hari, kecuali dikhawatirkan dari bergaul dan berbicara dengannya sesuatu yang bisa merusak agamanya, atau menyebabkan bahaya terhadap dirinya pada agama dan dunianya, jika dikhawatirkan seperti itu dibolehkan baginya menjauhinya. Berapa banyak mendiamkan (menghajr, tidak menyapa) yang indah lebih baik dari pada bergaul yang menyakiti.’[11]
Dan ia berkata pula dalam mengambil dalil dari hadits Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendiamkannya bersama kaum muslimin:
‘Ini merupakan dasar di sisi para ulama dalam menjauhi orang yang melakukan bid’ah, mendiamkannya dan tidak berbicara bersamanya. Dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tidak berbicara terhadap laki-laki yang tertawa pada jenazah.[12]
Tujuan-tujuan syar’iyah bagi syari’at hajr (mendiamkan):
Bisa disimpulkan tujuan-tujuan syar’iyah bagi hajr dalam beberapa hal berikut ini:
1. Sesungguhnya mencela dengan cara mendiamkan merupakan hukuman secara syar’i bagi yang didiamkan, maka ia termasuk jenis jihad fi sabilillah agar kalimah Allah subhanahu wa ta’ala tertinggi, menunaikan kawajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar, karena mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan kewajiban cinta pada-Nya subhanahu wa ta’ala.
2. Membangkitkan rasa sadar di dalam jiwa kaum muslimin agar tidak terjerumus dalam bid’ah ini dan mengingatkan mereka.
3. Membatasi tersebarnya bid’ah.
4. Menekan pelaku bid’ah dan mencelanya, agar ia menjadi lemah dari menyebarkan bid’ahnya, karena bila terjadi pemboikotan terhadapnya dan menjauh darinya jadilah ia seperti musang dalam lobangnya.[13]
5. Juga di antara tujuan syar’i: mengingatkan pelaku bid’ah terhadap kesalahannya agar ia merasa perbedaannya bagi kaum muslimin, lalu ia bertaubat dan kembali dari perbuatan bid’ahnya.
[1] Hilyatul Auliya` 4/197-198.
[2] Adabul Mufrad 1/422 (1268).
[3] Al-Mustadrak 4/315 (7760).
[4] Sunan ad-Darimy 1/127-128 (438-440)
[5] Sunan Ibnu Majah 1/8 (18).
[6] Al-Muwaththa` 2/632 (1302) dan Musnad asy-Syafi`i 1/242 (1202)
[7] Az-Zuhd karya Imam Ahmad 1/161.
[8] Al-Adabusy Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 1/232.
[9] Syarh Sunnah karya al-Baghawi 1/226-227.
[10] Ihya` ‘Ulumiddin 2/168.
[11] At-Tamhid 6/127 dan lihat Fathul Bari 10/496.
[12] At-Tamhid 4/87
[13] Lihat: Hajrul Mubtadi’ karya Bakar bin Abdullah Abu Zaid hal. 11.
Diambil dari Ebook Jenis-Jenis Bid’ah dan Berbagai Kondisi Para Pelakunya oleh Syaikh Khalid bin Ahmad az-Zahrani.
Baca juga artikel berikut:
1. Jenis-Jenis dan Tingkatan Bid'ah
2. Pelaku Bid'ah Adalah Kelompok yang Memisahkan Diri dari Ahlus Sunnah
3. Riwayat Ahli Bid’ah Dan Hukum Menerimanya
4. Hajr (Berpaling/Tidak Menyapa) Terhadap Ahli Bid’ah (Bag. 1)
5. Hajr (Berpaling/Tidak Menyapa) Terhadap Ahli Bid’ah (Bag. 2)
6. Hajr (Berpaling/Tidak Menyapa) Terhadap Ahli Bid’ah (Bag. 3)
7. Hakikat Berdialog Dengan Ahli Bid’ah
0 Response to "Hajr (Berpaling/Tidak Menyapa) Terhadap Ahli Bid’ah (Bag. 2)"
Post a Comment