-->

Kenapa Karni Ilyas "Tidak Berani" Menghantam Aburizal Bakrie di TV One?

penulis : daniel H.T


TOP news - Karni Ilyas di salah satu acaranya yang paling digemari pemirsa, Indonesia Lawyer Club di tvOne Apakah Karni Ilyas berani mengangkat thema mengenai lumpur Lapindo di acara Indonesia Lawyer Club, di tvOne? Atau, beranikah Karni Ilyas, yang adalah Pemimpin Redaksi tvOne itu mengisi salah satu acara di tvOne yang sifatnya mengkritik/menyerang Aburizal Bakrie, pemilik tvOne itu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mungkin juga menjadi pertanyaan Anda. Saya juga mempunyai pertanyaan-pertanyaan yang sama. Rasa ingin tahu yang sama. Di dalam bukunya yang baru saja terbit, -- sedang saya baca, Karni Ilyas, Lahir untuk Berita, oleh Fenty Effendy, Penerbit Buku Kompas, Oktober 2012,  di Bab: “Intervensi dari Mana-mana”, antara lain Karni Ilyas mengatakan, selama dia bekerja di berbagai media (Karni Ilyas telah mengabdi di dunia jurnalistik selama 40 tahun. Buku tersebut juga diterbitkan dalam rangka memperingati 40 tahun dirinya menjadi wartawan) dia merasakan bahwa tidak ada satu media pun yang bebas dari intervensi. Intervensi itu bisa datang dari pemerintah, pemilik media, temannya pemilik media, teman sendiri, bahkan dari lingkungan tempat tinggal sebagai wartawan. Misalnya, ada RT yang meminta kegiatan di lingkungannya diliput, padahal tidak ada nilai beritanya. Intervensi itu akan semakin memungkinkan kalau berita itu merugikan mereka, atau teman mereka. Di zaman Presiden Soeharto, intervensi terhadap media sangat luar biasa kuatnya. Kapan saja pers bisa diberangus begitu saja. Pada era Presiden Gus Dur dan Presiden Megawati pun, Karni mengaku pernah merasa diintervensi ketika masih di SCTV. Sedangkan SBY lebih lembut. Yang paling lembut adalah Presiden B.J. Habibie. Oleh karena itu Karni menilai Habibie layak disebut sebagai “Bapak Demokrasi.” Pemilik SCTV pernah membawa Karni Ilyas ke hadapan Gus Dur, untuk dimarah-marahi selama sekitar 2 jam. Penyebabnya karena SCTV dinilai terlalu banyak mengkritik pemerintahan Gus Dur. Masih di era Gus Dur Pangkostrad Ryamizard Ryacudu juga pernah marah kepada SCTV karena pemberitaannya mengenai Aceh dan Papua, yang dianggap menjelek-jelekkan TNI. Pemilik SCTV dipanggil ke Kostrad. Yang marahin pangkatnya Kolonel, bilang, “Apa perlu saya serbu SCTV pakai tank? Saya robohin gedung SCTV sekalian!” Pemiliknya tentu saja ketakutan, walaupun dia dekat dengan Pangkostrad. Dia pun memanggil Karni Ilyas untuk menghadap Pangkostrad. Setelah Karni ke sana, dan bertemu, dia malah disambut ramah oleh Pangkostrad Ryamizard Ryacudu. Pakai cipika-cipiki segala. Ternyata, mereka dua adalah sahabat lama. Waktu Ryamizard jadi Pangdam Brawijaya. Di era Megawati, yang marah-marah itu suaminya, Taufik Kiemas. Lagi-lagi pemilik SCTV ditelepon dan dimarahi oleh Taufik karena menurutnya berita-berita Pemilu 2004 di SCTV banyak merugikan Megawati.  Tetapi ketika telepon diserahkan kepada Karni, Taufik Kiemas malah berubah menjadi ramah. Mereka berdua malah berbasa-basi di telepon. Karni memang dikenal sangat luas pergaulannya. Mulai dari preman, polisi dan tentara dari pangkat rendahan sampai Jenderal, hakim, jaksa, anggota DPR, politisi, menteri, dan  pengusaha, seperti yang dituturkan di bagian lain dari buku tersebut. * Ketika masih di Tempo, sebagai Redaktur Pelaksana, merangkap menjadi pimpinan umum Majalah FORUM Keadilan, Karni juga pernah merasakan intervensi dari pemilik Tempo, yaitu Ir. Ciputra. Waktu itu FORUM Keadilan masih dimiliki Tempo. Gara-garanya adalah FORUM menurunkan berita tentang bahaya banjir menuju Bandara (Soekarno-Hatta) bila proyek perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK), milik Ciputra dikerjakan. Ciputra marah, dan mencari-cari Karni Ilyas untuk dimarahi langsung. Di Bab lain, di halaman 177-178, Karni Ilyas menceritakan kisah ini lebih lengkap. Pengalamannya dengan Ciputra yang tidak bisa dilupakan adalah ketika FORUM menyoroti proyek perumahan PIK di daerah Angke. Proyek senilai Rp 6 triliun itu merupakan kelanjutan obsesi Pak Ci – begitu dia biasa dipanggil mewujudkan kawasan Segi Tiga Emas di Pantai Utara Jakarta. Yaitu, antara Ancol, Kapuk, dan Kepulauan Seribu. Ancol yang dulu rawa-rawa sudah berhasil dikembangkannya menjadi tempat hiburan dan rekreasi. Pak Ci ingin melanjutkan obsesi tersebut di daerah Angke dengan membangun perumahan PIK seluas 831,63 hektar, dengan mendirikan PT Mandara Permai sebagai pengelolanya. FORUM menyoroti proyek tersebut, karena sesuai dengan pengamatan para ahli lingkungan ketika itu, proyek PIK dapat merusak lingkungan, dengan menyebabkan banjir di jalan menuju Soekarno-Hatta. Meskipun telah dibantah Ciputra, FORUM tetap menurunkan berita tersebut. Akibatnya, Karni Ilyas pun dicari-cari Ciputra. Karni berusaha untuk menghindari sedapat mungkin. Dia berpesan kepada anak buahnya bahwa kalau ada telepon dari Ciputra, bilang saja, lagi keluar, atau belum pulang. Ciputra telepon ke ponselnya pun tidak diangkat. Ciputra sempat ke kantor Tempo, tetapi tidak ketemu Karni. Dia datangi bagian keuangan Tempo. “Eh, Karni masih terima gaji dari sini?” “Masih,” jawab karyawan di sana. “Mulai bulan ini stop gaji dia!” Tapi, Karni tidak menyerah. Berita tentang proyek PIK masih diterbitkan beberapakali. Akhirnya Ciputra bertemu dengan Karni di lobi sebuah hotel. Di sanalah, dia dimarah habis-habisan oleh Ciputra. Karni hanya ketawa-ketawa saja, tidak melawan. “Dia, ‘kan pemilik Tempo, masa saya membalas?” kata Karni. Tapi bagian keuangan tidak menuruti Ciputra, soalnya kalau gaji yang redpel itu distop, Tempo terpaksa bayar gaji Karni sebagai pemimpin Redaksi. “Itu yang Ciputra tidak tahu,” kata Karni. * Lain lagi ceritanya mengenai “intervensi” Goenawan Mohammad (biasa disebut GM) di FORUM Keadilan. Ceritanya, ketika Majalah Tempo dibredel pada pertengahan 1994. Karena tidak punya media lagi untuk menulis, GM menulis sebuah kolom untuk dimuat di FORUM. Tetapi, Karni memutuskan untuk tidak memuat kolom GM itu. Karena majalah yang dia pimpin itu sebenarnya juga sedang berada dalam ancaman serius. FORUM telah mendapat Surat Peringatan Terakhir dari Departemen Penerangan yang dipimpin oleh Harmoko itu. Sekali saja dianggap berbuat salah, tamatlah riwayatnya mengikuti jejak kakaknya, Tempo. Penolakan tersebut membuat GM marah. Saking marahnya GM, sehingga ketika kolom itu dimuat di Apa Kabar (sebuah media alternatif di kala itu), di bagian bawah kolom diberi catatan khusus: “Inilah kolom terakhir Goenawan Mohammad yang ditolak FORUM Keadilan”. Di dalam suatu pertemuan kemudian, Karni menjelaskan kepada GM tentang alasannya, kenapa sampai kolom tersebut tidak dimuat di FORUM. * Kembali ke soal intervensi. Karni bertanya dengan nada menggugat, pernahkah media memberitakan yang isinya menghantam pemiliknya? Mana mungkin Tempo menghantam Goenawan Mommad atau Ciputra. Mana mungkin Jakob Oetama dihantam Kompas. RCTI menjelek-jelekkan Hary Tanoesoedibjo? MetroTV memojokkan Surya Paloh? Trans TV (Trans7) menghantam Chairul Tanjung? Apakah Anda melihat wajah Aburizal Bakrie tiap hari di tvOne? Apakah acara Golkar disiarkan tiap hari di tvOne? Karni mengatakan, “ Apa yang saya lakukan dengan memanggil Aburizal Bakrie ketika isu Gayus ketemu dia di Bali, saya kira baru tvOne yang melakukannya. Soal Lapindo? Pihak Bakrie menginginkan Lapindo dibahas, sebab sudah hampir Rp. 10 triliun mereka keluarkan untuk membayar ganti rugi, Bakrie menyebutkannya ganti untung karena harga tanah yang dibayar melebihi nilai jualnya. Tapi, saya memilih absen. Karena berimbang kayak apapun, tetap akan dianggapgh pemirsa bias. Seadil apapun hakim yang mengadili kerabatnya, akan tetap hakim itu dianggap berpihak. Karena itu hakim harus mundur dalam perkara yang menyangkut kerabatnya. Jadi kesimpulan saya, di mana pun Anda, intervensi itu ada. Sekarang adalah bagaimana seorang jurnalis melakukan tawar-menawar untuk itu. Jangan mimpilah media itu bisa streril dari intervensi.” * Bagi saya ini adalah penjelasan yang sangat jujur dari Karni Ilyas. Bagaimanapun, memang faktanya adalah seperti yang dia nyatakan di bukunya itu. Oleh karena itulah, pertanyaan yang diajukan di awal tulisan ini, bisa dijawab bahwa memang tvOne tidak mungkin mengadakan berita/acara yang sifatnya memojokkan sang boss, pemilik tvOne, Aburizal Bakrie. Misalnya, tentang lumpur Lapindo, dan kasus Gayus Tambunan, yang isinya memojokkan Aburizal Bakrie. Termasuk di acara Indonesia Lawyer Club (ILC). Apalagi di ILC itu setiap peserta bebas berbicara dan disiarkan secara langsung. Sangat besar kemungkinan, peserta-peserta yang diundang di acara itu berbicara keras mengkritik, bahkan mengecam keras Aburizal Bakrie. Asalkan masih dalam batas-batas tertentu, pemiliknya tidak melakukan intervensi yang terlalu dalam, sehingga merusak secara signifikan indepedensi media yang bersangkutan, maka seorang jurnalis yang bekerja di media tersebut masih bisa dianggap wajar kalau terus bertahan meniti kariernya di sana. Kira-kira begitulah yang bisa ditangkap dari pernyataan-pernyataan Karni Ilyas di bukunya itu. Tetapi, bagai Karni Ilyas sendiri, apakah sekarang ini baginya, batas-batas tertentu itu mulai dilanggar di tvOne? Atau mungkinkah sebenarnya selama ini terjadi konflik bathin Karni Ilyas di tvOne, seiring kiprah dan reputasi Aburizal Bakrie akhir-akhir ini? Mungkin saja, Karni telah beberapakali merasa terbelenggu dengan pemilik tvOne itu ketika hendak memilih thema tertentu di ILC? Idealismenya sebagai jurnalis profesional yang independen terusik. Oleh karena Karni Ilyas akan hengkang dari tvOne, masuk ke GlobalTV (Grup MNC, milik Hary Tanoesoedibjo), seperti isu yang beredar? Soal pemberitaan lumpur Lapindo, saya pernah menulis kritik di Kompasiana tentang cara pemberitaan tvOne yang saya nilai telah melakukan manipulasi berita. Saya menulis sbb: TV One Memanipulasi Berita Lumpur Lapindo Dalam penggunaan istilah saja pihak ARB dan Golkar tidak mau menggunakan sebutan yang umumnya dipakai untuk kasus lumpur ini, yakni “Lumpur Lapindo”. Mereka selalu menggunakan sebutannya sendiri, “Lumpur Sidoarjo.” Karena, sebutan “Lumpur Lapindo” dianggap mempunyai makna Lapindo-lah yang menyebabkan musibah itu terjadi. Padahal mereka tidak mau mengakui hal tersebut. Jadi, sebutan “Lumpur Sidoarjo”-lah yang dipakai. Seolah-olah Sidoarjo-lah yang bertanggung jawab sendiri atas semburan lumpur panas tersebut, bukan pihak Lapindo/ARB. Jadi, siapakah yang sesungguhnya “pihak yang tidak bertanggung jawab”, seperti yang disebutkan oleh Satya itu? Mempolitisasi kasus lumpur Lapindo, dan memanfaatkan penderitaan korban lumpur Lapindo demi kepentingan politik jangka pendek ARB jelas-jelas tergambar pula dalam tayangan berita Kabar Petang di TV One (Senin, 28 Mei 2012). Yang menampilkan berita tentang 6 tahun musibah lumpur Lapindo, tetapi dari angle yang sama sekali berbeda. Dari sisi pemanfaatan TV One miliknya itu untuk pencitraan dan kepentingan politiknya itu kita maklumi saja. Tetapi, kalau memanfaatkan korban lumpur Lapindo yang selama ini dibiarkan terkatung-katung selama 6 tahun, dan kemudian sekarang seolah-olah sungguh-sungguh menaruh perhatian kepada meraka, padahal sebenarnya hanya memanfaatkan mereka demi kepentingan politik ARB dan Golkar? Apakah juga kita harus maklumi? Kalau di mana-mana ARB dicerca karena kasus lumpur Lapindo, di TV One beliau justru menjadi pahlawan. Tayangan beritanya persis seperti di iklan-iklan kampanye capres. Sayangnya cara penayangan tersebut terkesan kuat dimanipulasi untuk mendapat kesan ARB sebagai sosok pahlawan korban lumpur Lapindo. Bahkan didukung masyarakat korban lumpur Lapindo. Sebaliknya, pihak pemerintahlah yang harus bertanggung jawab. Di tayangan Kabar Petang itu diperlihatkan kunjungan ARB ke Ciamis, Jawa Barat, bertemu dengan sekelompok massa (saya lupa dari mana), dan sejumlah anak-anak sekolah yang membawa bendera merah-putih mengelu-elukan ARB, bak kunjungan seorang presiden. Di bawahnya tercantum teks: “ICAL: KEWAJIBAN DI WILAYAH PETA TERDAMPAK SUDAH TUNTAS”. Relevansinya apa antara isi berita, teks berita dan gambar tayangannya itu? Orang yang kurang teliti menonton Kabar Petang itu, mengira bahwa kunjungan ARB itu adalah ke masyarakat korban lumpur Lapindo yang bermasalah itu. Padahal tidak. Tayangan videonya kunjungan dia ke Ciamis, tetapi teks di bawahnya menyatakan bahwa kewajiban Lapindo/ARB telah tuntas, dan seruan kepada pemerintah agar menuntaskan pembayaran ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo. Manipulasi tayangan TV One, gambarnya memperlihatkan ARB dielu-elukan di Ciamis, teksnya tentang telah terpenuhinya semua kewajiban Lapindo/ARB (Sumber: TV One / repro) ayangan TV One, seruan korban lumpur Lapindo: Pemerintahlah yang harus tanggung jawab (Sumber: TV One / repro) Kalau memang ARB sudah yakin bahwa kewajiban pihaknya sudah tuntas, tentu dia tidak akan segan-segan datang berkunjung langsung, bertatap muka dengan masyarakat korban lumpur Lapindo itu. Diliput oleh TV One. Bukan seperti ini; lain gambarnya (kunjungan ARB di Ciamis dan dieleu-elukan), lain pula teksnya beritanya (tentang kewajiban ARB terhadap korban lumpur Lapindo sudah tuntas). Dari tayangan di TV One itu juga terkesan bahwa masyarakat korban lumpur Lapindo telah diprovokasi, dengan mendorong mereka untuk menyerukan kepada pemerintah agar membayar ganti kerugian kepada mereka. Bukan lagi, menuntut kepada pihak Lapindo/ARB. Entah apakah itu seruan asli dari korban lumpur Lapindo, atau bukan, yang jelas di Kabar Petang itu TV One hanya menayangkan gambar sejumlah korban lumpur Lapindo, dan di bawahnya tercantum teks: WARGA BERHARAP PEMERINTAH BAYAR LAHAN MEREKA. * Di GlobalTV yang katanya akan mengfokuskan pada TV berita, Karni disinyalir ingin mengembalikan jati dirnya sebagai jurnalis profesional yang independen. dengan mengedepankan etika jurnalis yang tidak terbelengggu oleh masalah hukum, kepentingan bisnis dan politik dari sang pemilik. Pemilik GlobalTV memang adalah Hary Tanoesoedibyo, yang telah masuk di jajaran Partai Nasdem. Juga adalah seorang pengusaha besar, seperti Aburizal Bakrie. Tetapi, dibandingkan dengan Aburizal Bakrie, tentu saja sampai hari ini relatif Harry jauh dari masalah-masalah besar. Tidak seperti Aburizal yang sarat dengan berbagai masalah, mulai dari kasus Gayus, Bakrielife yang masih bermasalah dengan nasabah-nasabah asuransinya, persoalan di Bursa Efek Jakarta, lumpur Lapindo, sampai konflik di internal Golkar. Soal Golkar, yang disebutkan Karni Ilyas, tidak setiap hari, atau tidak sering-sering muncul di tvOne memang ada benarnya. Kita tidak seringkali disodori acara-acara Golkar di tvOne. Tidak demikian dengan MetroTV. Yang termasuk sering menyiarkan acara-acara yang diselenggarakan oleh Partai Nasdem, milik Surya Paloh. Cukup sering kita merasa seperti dipaksakan untuk menonton acara-acara seremodial Partai Nasdem yang sebenarnya tidak penting bagi kita. Awak MetroTV, termasuk Pimpinan Redaksinya, tentu tak bisa berbuat banyak. Mana berani Pimpinan Redaksinya menolak acara Partai Nasdem itu ditayangkan di MetroTV? Membaca pengalaman dan opini Karni Ilyas di buku Karni Ilyas, Lahir untuk Berita, telah cukup membuat kita sedikit-banyak memahami persoalan dunia jurnalis menyangkut konflik kepentingan dengan pemilik media, dan intervensi pemilik media dan pihak-pihak lainnya, yang bisa mempengaruhi gaya pemberitaan media tersebut. ***

Selengkapnya : http://m.kompasiana.com/danielht/kenapa-karni-ilyas-tidak-berani-menghantam-aburizal-bakrie-di-tv-one_5518b57981331128699de941

0 Response to "Kenapa Karni Ilyas "Tidak Berani" Menghantam Aburizal Bakrie di TV One? "

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel